Home » , , » Koreksi Terhadap Penyimpangan Umat Dalam Bulan Rajab

Koreksi Terhadap Penyimpangan Umat Dalam Bulan Rajab

Written By Admin on Thursday, May 24, 2012 | 4:33 PM

KOREKSI TERHADAP PENYIMPANGAN UMAT DALAM BULAN RAJAB

Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam, yang menurunkan Al Qur’an yang mulia sebagai petunjuk dan peringatan bagi seluruh makhluk dari kalangan jin dan manusia. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Muhammad sebagai utusan Allah dan manusia sempurna rohani dan akalnya, tinggi kedudukannya serta mulia budi pekerti dan akhlaknya, sehingga ucapan dan tindakan Beliau menjadi panutan dan suri tauladan.


PENYIMPANGAN DALAM MENYAMBUT BULAN RAJAB

* Puasa Pada Bulan Rajab.

Kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya juga, diantaranya Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H). Beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96 : “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu (merupakan) kedustaan yang diada-adakan”.

Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H). Beliau berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150 : “Dan bab shalat Raghaib, shalat Nishfu Sya’ban, shalat Nishfu Rajab, shalat Iman, shalat malam Mi’raj, … bab-bab ini -di dalamnya- secara pasti tidak ada sesuatu pun yang sah”. Dan beliau juga berkata : “Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada sesuatu pun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang memakruhkannya”.

Imam Suyuti berkata di dalam Al Amru Bil Ittiba’ Wa nahyu ‘Anil Ibtida’, lembaran 14 / 1 : Asy Syafi’i t berkata,”Aku membenci seorang laki-laki yang menjadikan puasa (Rajab) sebulan penuh sebagaimana puasa Ramadhan. Demikian pula puasa sehari diantara hari-hari yang lainnya.”

Abu Al Khatab menyebutkan di dalam kitab Ada’u Ma Wajaba Fi bayani Wadh’i Al Wadhi’in Fi Rajab, dari orang kepercayaan, Ibnu Ahmad As Saji Al Hafizh, beliau berkata,”Imam Abdullah Al Anshari, syaikh negeri Khurasan tidak pernah puasa Rajab, bahkan melarangnya. Beliau berkata,’Tidak ada sesuatu pun yang sah datang dari Rasulullah tentang keutamaan Rajab dan puasa padanya’.”

Beliau berkata,”Sesungguhnya para sahabat membenci puasa Rajab. Diantara mereka adalah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma. Umar pernah mengumpamakan orang yang sering puasa Rajab seperti dirrah (susu yang melimpah-limpah, lihat Mukhtarush Shihah, pent.).

Aku berkata : Permisalan Umar ini terdapat di dalam Al Mu’jam Al Ausath, karya Thabrani dan di dalamnya ada orang yang bernama Al Hasan bin Jabalah. Al Haitsami berkata di dalam Al Majma’ 13/191,”Aku belum pernah menemukan orang yang menyebutkannya, dan rijal hadits yang lainnya tsiqah.”

Menurut Ibnu Wadhah dalam Al Bida’ hlm. 44 dan Al Faqihi dalam Kitabu Makkah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Ba’its ‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits, hlm. 49. Beliau berkata juga : “Abu Utsman Sa’id bin Mansur menyandarkannya kepada imam yang disepakati keadilannya dan disepakati mengeluarkan dan meriwayatkannya,” dan beliau berkata : “Ini adalah sanad yang para perawinya disepakati keadilannya”.

Ath Thurtusi dalam Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 129 dan Abu Syamah dalam Al Ba’its, hlm. 49 menukil kebencian Abu Bakar pada puasa Rajab.

Sebagai pelengkap, kami sampaikan ucapan Imam Abdullah Al Anshari, menukil dari Asy Suyuthi rahimahullah Ta’ala : “Jika dikatakan puasa Rajab adalah amalan yang baik, maka katakan padanya, mengamalkan kebaikan hendaknya sesuai yang disyari’atkan Rasulullah. Bila kita tahu, bahwa itu dusta atas nama Rasulullah, maka itu keluar dari yang disyari’atkan, dan mengagungkannya termasuk perkara jahiliyah, sebagaimana kata Umar. Umar pernah memukul rajabiyyin, yaitu orang-orang yang berpuasa Rajab. Adapun Ibnu Abbas, seorang ulama Al Qur’an membencinya juga. Dan dikeluarkan oleh Abdurrazaq di dalam Mushannaf 4/292, dari Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa dia membenci seluruh puasa Rajab, agar tidak dijadikan hari raya. Isnadnya shahih, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Tabyin Al Ajab, hlm. 65, 66 – Al Misriyyah.

As Suyuti berkata juga : Biasanya bila Ibnu Umar melihat manusia dan apa yang mereka siapkan untuk bulan Rajab, (maka) beliau membencinya. Beliau berkata,”Berpuasalah pada bulan Rajab dan berbukalah, karena dia adalah bulan yang dahulu dimuliakan kaum jahiliyyah”.

At Turthusi dalam Al Hawadits Wal Bid’ah, hlm. 129 dan Abu Syamah di dalam Al Ba’its, hlm. 49 menyebutkan atsar Ibnu Umar ini. Dan di hlm. 130-131 berkata,”Puasa Rajab dibenci berdasarkan salah satu dari tiga segi. Salah satunya adalah bila orang-orang mengkhususkannya dengan puasa pada setiap tahun, maka orang-orang awam yang tidak tahu akan menyangka (bahwa) itu wajib seperti puasa Ramadhan, atau mungkin sunnah yang tetap yang dikhususkan Rasulullah untuk berpuasa, seperti sunnah-sunnah rawatib. Dan bisa jadi, puasa itu ditentukan karena keutamaan pahalanya dibanding seluruh bulan, sebagaimana puasa ‘Asy Syura, maka puasa itu dianggap ada karena ada keutamaannya, bukan hanya karena sisi sunnah atau wajibnya.

Andaikata hal ini terjadi karena ada keutamaannya, tentu Rasulullah telah menjelaskan atau Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya, meskipun sekali seumur hidupnya, sebagaimana Beliau pernah melakukan puasa ‘Asy Syura. Dan (dalam masalah ini) Beliau tidak pernah melakukanya, sehingga batallah anggapan keberadaan puasa itu, dikarenakan tidak ada keutamaannya. Secara ittifaq, itu bukan fardhu dan bukan pula wajib. Dan secara khusus, tidak ada dalil yang menetapkan anjuran puasa Rajab. Dengan demikian, berpuasa Rajab berarti melakukan secara terus-menerus suatu perkara yang dibenci.

Meskipun begitu, orang-orang yang berpuasa Rajab masih memiliki dalih, bahwa mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan amal diperbolehkan, karena para ulama ahli hadits dan ahli ilmu bersikap toleran dalam mendatangkan hadits-hadits dha’if yang berkaitan dengan keutamaan amal.

Pernyataan tersebut terbantahkan dengan dalil sebagai berikut: “Sesunguhnya ulama Ahli Hadits toleran dalam mengamalkan hadits-hadits dha’if, dalam keutamaan amal dengan beberapa syarat[9]. Diantaranya, yang paling penting adalah hendaknya harus dijelaskan sisi kelemahannya, dan hadits tersebut tidak maudhu’, supaya orang yang mengamalkannya tidak membuat syari’at baru, seperti hadits puasa Rajab, sebagaimana dikatakan Ibnu Qayyim, Fairuz Abadi, Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Al Hafizh Abdullah Al Anshari, Ibnu Hammat Ad Dimasqi dan Ibnu Rajab di dalam Lathaiful Ma’arif, hlm. 123-127, dan Abu Hafs Al Mushuli di dalam Al Mughni ‘Anil Hifzhi Wal Kitab, hlm. 371 dan disetujui oleh Abu Ishaq Al Huwaini dalam kritikannya, yaitu Junnatul Murtab, dan selain mereka.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan komenter disini gan mumpung masih gratis... wekekekke :D