Sempat molor dua jam, saham Alibaba debut pada pukul 12.00 waktu New York. Permintaan pembelian menggila beberapa detik setelah IPO, kelebihan 35 persen dari jumlah lot yang ditawarkan. Dengan target awal USD 83 per lembar, nilai saham Alibaba dalam hitungan menit melonjak jadi USD 99, sebelum akhirnya bertahan lama di posisi USD 93 per lembar.
Sepanjang 20 menit melantai di bursa NYSE, 100 juta lembar saham Alibaba diperdagangkan para broker Wall Street.
Dana segar terkumpul dari IPO ini minimal USD 24,3 miliar atau setara Rp 243 triliun. Imbasnya, kapitalisasi pasar Alibaba mencapai USD 165,5 miliar (Rp 1.655 triliun). Berarti taksiran total aset Alibaba mendekati pendapatan sebuah negara berkembang.
Alibaba sukses melampaui kapitalisasi pasar pemain e-commerce kawakan seperti eBay (kapitalisasi USD 63,2 miliar) atau Amazon (USD 149,6 miliar).
Dari IPO Jack Ma dikabarkan meraup USD 18 Miliar atau sekitar Rp 215 Triliun. Forbes memperkirakan kekayaannya kini USD 21 miliar atau sekitar Rp 251 Triliun. Berikut ini perjalanan sukses Jack Ma dikutip dari merdeka.com:
1.
Dulu bergaji Rp 180 Ribu per bulan
Apa kunci sukses Jack Ma meniti karir jadi taipan raksasa? Dia menjawab lantaran ogah terus miskin.
Sebelum mendirikan perusahaan perdagangan via Internet, Ma bekerja sebagai guru bahasa Inggris sebuah kampus di kota kelahirannya. Gaji Ma dalam Yuan bila dikonversi ke Rupiah hanya sekitar Rp 180.000 per bulan.
Sewaktu muda, Ma Yun (nama aslinya) adalah anak yang suka berbahasa Inggris, tak lazim bagi warga China kala itu. Dari biografinya yang kerap dikutip media, sedari SD dia nekat bersepeda ke hotel berjarak 45 menit dari Kota Hanzhou, demi bercakap-cakap dengan turis asing asal Eropa dan AS.
Ketekunan itu mengantarnya kuliah di jurusan bahasa asing, dan bahkan terpilih menjadi dosen di kampusnya. Tapi gaji minim sebagai pengajar membuatnya tak tahan. Inilah awal pilihannya banting setir jadi pengusaha. Di artikel selanjutnya, akan diceritakan bagaimana Ma bisa mengenal bisnis Internet, walau awalnya tak paham komputer sama sekali.
"Anda tidak akan sukses kalau tidak memiliki ambisi. Kalau tidak berhasil (dengan bisnis Internet) aku harus kembali ke pekerjaanku yang dulu," ujarnya saat diwawancara situs berita Tencent (11/9/2013).
2.
Tak bisa mengetik keyboard
Dalam wawancara stasiun televisi CNN, Jack Ma (kini 49 tahun) mengaku
kenal teknologi bernama Internet pertama kali 19 tahun lalu. Karena bisa
berbahasa Inggris, dia beruntung diajak delegasi bisnis China melawat
ke Kota Seattle, Amerika Serikat.
Di sanalah, Ma bertemu sang
mentor: seorang warga Negeri Paman Sam penggemar teknologi. Si bule
cerita bermacam hal soal kehebatan Internet dan peluang bisnis dari
benda asing itu. Ambisi Ma berwirausaha memuncak. Dia muak jadi pengajar
yang cuma dibayar Rp 180.000 per bulan.
Orang di sekitar
rumahnya, termasuk sejawatnya sesama guru, tak ada yang tahu apa itu
Internet sekembalinya ke China. Tapi berkat sang kenalan baru dari AS,
Ma yakin bahwa jaringan data lewat komputer ini bisa digunakan buat
berbisnis. Padahal dia tak jago komputer sama sekali. Selentingan
populer menyebut Ma waktu itu tak tahu cara mengetik di keyboard.
3.
Sering diejek orang
Asingnya Internet pada 1995 sebetulnya
tak cuma terjadi di China, tapi juga AS. Lemotnya koneksi masa itu
bahkan sempat bikin Jack Ma keki.
Buat menunggu komputernya
online pertama kali, Ma butuh waktu 35 menit. Di sela-sela menunggu
sambungan Internet, dia main kartu bersama tetangga. Sebagian
mengejeknya sok tahu. "Tapi saya puas, pada akhirnya saya bisa buktikan
kalau benda bernama Internet itu benar-benar ada."
Bermodal
pinjaman dari sang paman senilai Rp 24 juta, Ma mendirikan sebuah
layanan daftar nomor telepon dan identitas perusahaan seluruh China.
Mirip Yellow Pages, tapi berbasis Internet.
Usaha ini dia lakukan
dari apartemennya yang sempit tak lama selepas memahami apa itu
Internet dan seluk beluknya. Semua orang terus mengejeknya, orang buta
komputer kok coba-coba bisnis Internet.
Dari 24 orang yang
dimintai pendapat di awal mula startup ini, cuma satu orang saja tetap
menyemangati. "Kalau kamu memang mau melakukannya, coba saja. Kalau
tidak sesuai harapan, ya tinggal kerja lagi jadi guru," kata Ma
menirukan sahabatnya yang berprofesi sebagai bankir.
4.
Dari 17 karyawan jadi 22 ribu orang
Butuh waktu tiga tahun, terbantu pula
menanjaknya popularitas Internet di kalangan pejabat pemerintah China,
Ma berhasil mengembangkan bisnis. Pada 1999, dia mendirikan perusahaan
fokus pada e-commerce diberi nama Alibaba. Karyawan awal 17 orang, semua
teman-teman dekat.
Bisnis perusahaan ini apa saja: menjual
barang, menawarkan voucher promo, pengiriman paket, bahkan kini sudah
merambah pembayaran Internet (e-Payment) hingga pengelolaan investasi.
Anak usahanya memasuki abad 21 menggurita. Mulai dari Taobao, Tmall,
atau Juhuasuan, rata-rata menjadi situs bisnis populer di Negeri Tirai
Bambu.
Pendapatan kotor Alibaba pada 2013 mencapai USD 7,5 miliar, dan kini Ma mempekerjakan 22.000 pegawai.
Ma
mengaku langkahnya masuk ke bursa NYSE supaya Alibaba semakin mendunia.
Dia ingin mulai penetrasi ke pasar Amerika Serikat dan Eropa. Dia tak
khawatir, kendati survei Ipsos tahun ini mengatakan 88 persen populasi
AS tak pernah mengenal apa itu Alibaba Group.
Bahkan dia yakin
bisa mengejar capaian perusahaan ritel terbesar AS Walmart. "Kami punya
mimpi, dan seharusnya semua orang boleh bermimpi. Saya pikir 15 tahun
lagi dunia bisa berubah karena bisnis yang kami lakukan. Kami ingin
menjadi lebih besar dari Walmart," kata Ma optimis.
Pada
perdagangan hari ini (20/9), di New York, saham Alibaba menciptakan
euforia. Sepanjang 20 menit awal melantai di bursa NYSE, 100 juta lembar
saham Alibaba diperdagangkan para broker Wall Street, seperti dilansir
stasiun televisi USA Today. Harganya sempat melonjak jadi USD 99 per
lembar, padahal mulanya ditaksir mentok USD 83 per lembar.
Dana
segar terkumpul dari IPO ini minimal USD 24,3 miliar atau setara Rp 243
triliun. Imbasnya, kapitalisasi pasar Alibaba mencapai USD 165,5 miliar
(Rp 1.655 triliun), melampaui beberapa raksasa bisnis Internet dunia
lainnya seperti Amazon dan eBay.
5.
Sempat ditolak saat melamar di KFC
Dengan seluruh kehebohan yang dia buat,
mayoritas analis bursa terkejut melihat latar pendidikan Ma. Dia bukan
lulusan kampus ternama, atau paling tidak pernah bekerja di Silicon
Valley seperti lazimnya bos perusahaan teknologi informasi. Ma bukan
orang seberuntung Mark Zuckerberg atau Bill Gates.
Ma hanyalah
anak dari keluarga menengah China biasa, kebetulan fasih berbahasa
Inggris. Tapi memang diakui Ma punya ketekunan dan pola pikir tak lazim
dibanding sejawatnya yang rata-rata takut pada dominasi Partai Komunis
China.
Salah satu ide radikal Ma semasa muda adalah keyakinannya bahwa China di masa mendatang akan lebih terbuka pada dunia.
Dalam
buku biografi ditulis Chen Wei (2013), setelah diterima sebagai guru
bahasa inggris di Kota Hangzhou pada 1988, dia menikahi teman sekelasnya
semasa kuliah, Zhang Ying. Gaji setara Rp 180.000 per bulan tidak cukup
bagi keluarga muda itu.
Alhasil, Ma mencoba cari penghasilan
tambahan dengan melamar ke gerai ayam goreng KFC. Dia ditolak, karena
dianggap tidak cocok bekerja sebagai pelayan. Demikian pula lamarannya
untuk bekerja paruh waktu di hotel dan kepolisian. Semua ditolak.
Kecewa
dengan semua penolakan itu, Ma pun bertekad wirausaha. Dan seperti
sudah dibahas sebelumnya, dia akhirnya sukses menemukan peruntungan dari
bisnis Internet.
Pandangan Ma di masa muda terbukti tepat. China
tidak akan terus-terusan menutup diri sebagai negeri komunis, dan
justru merengkuh kapitalisme berbasis teknologi informasi.
Alibaba
berhasil memanfaatkan perubahan sosial di Negeri Tirai Bambu, ketika
banyak masyarakat di sana semakin akrab dengan gadget dan komputer.
Ceruk pasar kebutuhan bisnis lewat Internet, termasuk pengiriman barang
atau penjualan online, berhasil ditangkap oleh Ma dan para pekerjanya.
Sumber artikel+gambar/ilustrasi : Merdeka.com
Sebelum mendirikan perusahaan perdagangan via Internet, Ma bekerja sebagai guru bahasa Inggris sebuah kampus di kota kelahirannya. Gaji Ma dalam Yuan bila dikonversi ke Rupiah hanya sekitar Rp 180.000 per bulan.
Sewaktu muda, Ma Yun (nama aslinya) adalah anak yang suka berbahasa Inggris, tak lazim bagi warga China kala itu. Dari biografinya yang kerap dikutip media, sedari SD dia nekat bersepeda ke hotel berjarak 45 menit dari Kota Hanzhou, demi bercakap-cakap dengan turis asing asal Eropa dan AS.
Ketekunan itu mengantarnya kuliah di jurusan bahasa asing, dan bahkan terpilih menjadi dosen di kampusnya. Tapi gaji minim sebagai pengajar membuatnya tak tahan. Inilah awal pilihannya banting setir jadi pengusaha. Di artikel selanjutnya, akan diceritakan bagaimana Ma bisa mengenal bisnis Internet, walau awalnya tak paham komputer sama sekali.
"Anda tidak akan sukses kalau tidak memiliki ambisi. Kalau tidak berhasil (dengan bisnis Internet) aku harus kembali ke pekerjaanku yang dulu," ujarnya saat diwawancara situs berita Tencent (11/9/2013).
2.
Tak bisa mengetik keyboard
Dalam wawancara stasiun televisi CNN, Jack Ma (kini 49 tahun) mengaku
kenal teknologi bernama Internet pertama kali 19 tahun lalu. Karena bisa
berbahasa Inggris, dia beruntung diajak delegasi bisnis China melawat
ke Kota Seattle, Amerika Serikat.
Di sanalah, Ma bertemu sang
mentor: seorang warga Negeri Paman Sam penggemar teknologi. Si bule
cerita bermacam hal soal kehebatan Internet dan peluang bisnis dari
benda asing itu. Ambisi Ma berwirausaha memuncak. Dia muak jadi pengajar
yang cuma dibayar Rp 180.000 per bulan.
Orang di sekitar
rumahnya, termasuk sejawatnya sesama guru, tak ada yang tahu apa itu
Internet sekembalinya ke China. Tapi berkat sang kenalan baru dari AS,
Ma yakin bahwa jaringan data lewat komputer ini bisa digunakan buat
berbisnis. Padahal dia tak jago komputer sama sekali. Selentingan
populer menyebut Ma waktu itu tak tahu cara mengetik di keyboard.
3.
Sering diejek orang
Asingnya Internet pada 1995 sebetulnya
tak cuma terjadi di China, tapi juga AS. Lemotnya koneksi masa itu
bahkan sempat bikin Jack Ma keki.
Buat menunggu komputernya online pertama kali, Ma butuh waktu 35 menit. Di sela-sela menunggu sambungan Internet, dia main kartu bersama tetangga. Sebagian mengejeknya sok tahu. "Tapi saya puas, pada akhirnya saya bisa buktikan kalau benda bernama Internet itu benar-benar ada."
Bermodal pinjaman dari sang paman senilai Rp 24 juta, Ma mendirikan sebuah layanan daftar nomor telepon dan identitas perusahaan seluruh China. Mirip Yellow Pages, tapi berbasis Internet.
Usaha ini dia lakukan dari apartemennya yang sempit tak lama selepas memahami apa itu Internet dan seluk beluknya. Semua orang terus mengejeknya, orang buta komputer kok coba-coba bisnis Internet.
Dari 24 orang yang dimintai pendapat di awal mula startup ini, cuma satu orang saja tetap menyemangati. "Kalau kamu memang mau melakukannya, coba saja. Kalau tidak sesuai harapan, ya tinggal kerja lagi jadi guru," kata Ma menirukan sahabatnya yang berprofesi sebagai bankir.
Sumber artikel+gambar/ilustrasi : Merdeka.com
Buat menunggu komputernya online pertama kali, Ma butuh waktu 35 menit. Di sela-sela menunggu sambungan Internet, dia main kartu bersama tetangga. Sebagian mengejeknya sok tahu. "Tapi saya puas, pada akhirnya saya bisa buktikan kalau benda bernama Internet itu benar-benar ada."
Bermodal pinjaman dari sang paman senilai Rp 24 juta, Ma mendirikan sebuah layanan daftar nomor telepon dan identitas perusahaan seluruh China. Mirip Yellow Pages, tapi berbasis Internet.
Usaha ini dia lakukan dari apartemennya yang sempit tak lama selepas memahami apa itu Internet dan seluk beluknya. Semua orang terus mengejeknya, orang buta komputer kok coba-coba bisnis Internet.
Dari 24 orang yang dimintai pendapat di awal mula startup ini, cuma satu orang saja tetap menyemangati. "Kalau kamu memang mau melakukannya, coba saja. Kalau tidak sesuai harapan, ya tinggal kerja lagi jadi guru," kata Ma menirukan sahabatnya yang berprofesi sebagai bankir.
4.
Dari 17 karyawan jadi 22 ribu orang
Butuh waktu tiga tahun, terbantu pula
menanjaknya popularitas Internet di kalangan pejabat pemerintah China,
Ma berhasil mengembangkan bisnis. Pada 1999, dia mendirikan perusahaan
fokus pada e-commerce diberi nama Alibaba. Karyawan awal 17 orang, semua
teman-teman dekat.
Bisnis perusahaan ini apa saja: menjual barang, menawarkan voucher promo, pengiriman paket, bahkan kini sudah merambah pembayaran Internet (e-Payment) hingga pengelolaan investasi. Anak usahanya memasuki abad 21 menggurita. Mulai dari Taobao, Tmall, atau Juhuasuan, rata-rata menjadi situs bisnis populer di Negeri Tirai Bambu.
Pendapatan kotor Alibaba pada 2013 mencapai USD 7,5 miliar, dan kini Ma mempekerjakan 22.000 pegawai.
Ma mengaku langkahnya masuk ke bursa NYSE supaya Alibaba semakin mendunia. Dia ingin mulai penetrasi ke pasar Amerika Serikat dan Eropa. Dia tak khawatir, kendati survei Ipsos tahun ini mengatakan 88 persen populasi AS tak pernah mengenal apa itu Alibaba Group.
Bahkan dia yakin bisa mengejar capaian perusahaan ritel terbesar AS Walmart. "Kami punya mimpi, dan seharusnya semua orang boleh bermimpi. Saya pikir 15 tahun lagi dunia bisa berubah karena bisnis yang kami lakukan. Kami ingin menjadi lebih besar dari Walmart," kata Ma optimis.
Pada perdagangan hari ini (20/9), di New York, saham Alibaba menciptakan euforia. Sepanjang 20 menit awal melantai di bursa NYSE, 100 juta lembar saham Alibaba diperdagangkan para broker Wall Street, seperti dilansir stasiun televisi USA Today. Harganya sempat melonjak jadi USD 99 per lembar, padahal mulanya ditaksir mentok USD 83 per lembar.
Dana segar terkumpul dari IPO ini minimal USD 24,3 miliar atau setara Rp 243 triliun. Imbasnya, kapitalisasi pasar Alibaba mencapai USD 165,5 miliar (Rp 1.655 triliun), melampaui beberapa raksasa bisnis Internet dunia lainnya seperti Amazon dan eBay.
Bisnis perusahaan ini apa saja: menjual barang, menawarkan voucher promo, pengiriman paket, bahkan kini sudah merambah pembayaran Internet (e-Payment) hingga pengelolaan investasi. Anak usahanya memasuki abad 21 menggurita. Mulai dari Taobao, Tmall, atau Juhuasuan, rata-rata menjadi situs bisnis populer di Negeri Tirai Bambu.
Pendapatan kotor Alibaba pada 2013 mencapai USD 7,5 miliar, dan kini Ma mempekerjakan 22.000 pegawai.
Ma mengaku langkahnya masuk ke bursa NYSE supaya Alibaba semakin mendunia. Dia ingin mulai penetrasi ke pasar Amerika Serikat dan Eropa. Dia tak khawatir, kendati survei Ipsos tahun ini mengatakan 88 persen populasi AS tak pernah mengenal apa itu Alibaba Group.
Bahkan dia yakin bisa mengejar capaian perusahaan ritel terbesar AS Walmart. "Kami punya mimpi, dan seharusnya semua orang boleh bermimpi. Saya pikir 15 tahun lagi dunia bisa berubah karena bisnis yang kami lakukan. Kami ingin menjadi lebih besar dari Walmart," kata Ma optimis.
Pada perdagangan hari ini (20/9), di New York, saham Alibaba menciptakan euforia. Sepanjang 20 menit awal melantai di bursa NYSE, 100 juta lembar saham Alibaba diperdagangkan para broker Wall Street, seperti dilansir stasiun televisi USA Today. Harganya sempat melonjak jadi USD 99 per lembar, padahal mulanya ditaksir mentok USD 83 per lembar.
Dana segar terkumpul dari IPO ini minimal USD 24,3 miliar atau setara Rp 243 triliun. Imbasnya, kapitalisasi pasar Alibaba mencapai USD 165,5 miliar (Rp 1.655 triliun), melampaui beberapa raksasa bisnis Internet dunia lainnya seperti Amazon dan eBay.
5.
Sempat ditolak saat melamar di KFC
Dengan seluruh kehebohan yang dia buat,
mayoritas analis bursa terkejut melihat latar pendidikan Ma. Dia bukan
lulusan kampus ternama, atau paling tidak pernah bekerja di Silicon
Valley seperti lazimnya bos perusahaan teknologi informasi. Ma bukan
orang seberuntung Mark Zuckerberg atau Bill Gates.
Ma hanyalah anak dari keluarga menengah China biasa, kebetulan fasih berbahasa Inggris. Tapi memang diakui Ma punya ketekunan dan pola pikir tak lazim dibanding sejawatnya yang rata-rata takut pada dominasi Partai Komunis China.
Salah satu ide radikal Ma semasa muda adalah keyakinannya bahwa China di masa mendatang akan lebih terbuka pada dunia.
Dalam buku biografi ditulis Chen Wei (2013), setelah diterima sebagai guru bahasa inggris di Kota Hangzhou pada 1988, dia menikahi teman sekelasnya semasa kuliah, Zhang Ying. Gaji setara Rp 180.000 per bulan tidak cukup bagi keluarga muda itu.
Alhasil, Ma mencoba cari penghasilan tambahan dengan melamar ke gerai ayam goreng KFC. Dia ditolak, karena dianggap tidak cocok bekerja sebagai pelayan. Demikian pula lamarannya untuk bekerja paruh waktu di hotel dan kepolisian. Semua ditolak.
Kecewa dengan semua penolakan itu, Ma pun bertekad wirausaha. Dan seperti sudah dibahas sebelumnya, dia akhirnya sukses menemukan peruntungan dari bisnis Internet.
Pandangan Ma di masa muda terbukti tepat. China tidak akan terus-terusan menutup diri sebagai negeri komunis, dan justru merengkuh kapitalisme berbasis teknologi informasi.
Alibaba berhasil memanfaatkan perubahan sosial di Negeri Tirai Bambu, ketika banyak masyarakat di sana semakin akrab dengan gadget dan komputer. Ceruk pasar kebutuhan bisnis lewat Internet, termasuk pengiriman barang atau penjualan online, berhasil ditangkap oleh Ma dan para pekerjanya.
Ma hanyalah anak dari keluarga menengah China biasa, kebetulan fasih berbahasa Inggris. Tapi memang diakui Ma punya ketekunan dan pola pikir tak lazim dibanding sejawatnya yang rata-rata takut pada dominasi Partai Komunis China.
Salah satu ide radikal Ma semasa muda adalah keyakinannya bahwa China di masa mendatang akan lebih terbuka pada dunia.
Dalam buku biografi ditulis Chen Wei (2013), setelah diterima sebagai guru bahasa inggris di Kota Hangzhou pada 1988, dia menikahi teman sekelasnya semasa kuliah, Zhang Ying. Gaji setara Rp 180.000 per bulan tidak cukup bagi keluarga muda itu.
Alhasil, Ma mencoba cari penghasilan tambahan dengan melamar ke gerai ayam goreng KFC. Dia ditolak, karena dianggap tidak cocok bekerja sebagai pelayan. Demikian pula lamarannya untuk bekerja paruh waktu di hotel dan kepolisian. Semua ditolak.
Kecewa dengan semua penolakan itu, Ma pun bertekad wirausaha. Dan seperti sudah dibahas sebelumnya, dia akhirnya sukses menemukan peruntungan dari bisnis Internet.
Pandangan Ma di masa muda terbukti tepat. China tidak akan terus-terusan menutup diri sebagai negeri komunis, dan justru merengkuh kapitalisme berbasis teknologi informasi.
Alibaba berhasil memanfaatkan perubahan sosial di Negeri Tirai Bambu, ketika banyak masyarakat di sana semakin akrab dengan gadget dan komputer. Ceruk pasar kebutuhan bisnis lewat Internet, termasuk pengiriman barang atau penjualan online, berhasil ditangkap oleh Ma dan para pekerjanya.
Sumber artikel+gambar/ilustrasi : Merdeka.com
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan komenter disini gan mumpung masih gratis... wekekekke :D