KOREKSI TERHADAP PENYIMPANGAN UMAT DALAM BULAN RAJAB
Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam, yang menurunkan Al
Qur’an yang mulia sebagai petunjuk dan peringatan bagi seluruh makhluk
dari kalangan jin dan manusia. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah
kepada Muhammad sebagai utusan Allah dan manusia sempurna rohani dan
akalnya, tinggi kedudukannya serta mulia budi pekerti dan akhlaknya,
sehingga ucapan dan tindakan Beliau menjadi panutan dan suri tauladan.
PENYIMPANGAN DALAM MENYAMBUT BULAN RAJAB
* Puasa Pada Bulan Rajab.
Kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya juga,
diantaranya Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H). Beliau
berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96 : “Setiap hadits yang
menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu
(merupakan) kedustaan yang diada-adakan”.
Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H). Beliau
berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150 : “Dan bab shalat
Raghaib, shalat Nishfu Sya’ban, shalat Nishfu Rajab, shalat Iman, shalat
malam Mi’raj, … bab-bab ini -di dalamnya- secara pasti tidak ada
sesuatu pun yang sah”. Dan beliau juga berkata : “Bab puasa Rajab dan
keutamaannya, tidak ada sesuatu pun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada
riwayat yang memakruhkannya”.
Imam Suyuti berkata di dalam Al Amru Bil Ittiba’ Wa nahyu ‘Anil Ibtida’,
lembaran 14 / 1 : Asy Syafi’i t berkata,”Aku membenci seorang laki-laki
yang menjadikan puasa (Rajab) sebulan penuh sebagaimana puasa Ramadhan.
Demikian pula puasa sehari diantara hari-hari yang lainnya.”
Abu Al Khatab menyebutkan di dalam kitab Ada’u Ma Wajaba Fi bayani
Wadh’i Al Wadhi’in Fi Rajab, dari orang kepercayaan, Ibnu Ahmad As Saji
Al Hafizh, beliau berkata,”Imam Abdullah Al Anshari, syaikh negeri
Khurasan tidak pernah puasa Rajab, bahkan melarangnya. Beliau
berkata,’Tidak ada sesuatu pun yang sah datang dari Rasulullah tentang
keutamaan Rajab dan puasa padanya’.”
Beliau berkata,”Sesungguhnya para sahabat membenci puasa Rajab. Diantara
mereka adalah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma. Umar pernah
mengumpamakan orang yang sering puasa Rajab seperti dirrah (susu yang
melimpah-limpah, lihat Mukhtarush Shihah, pent.).
Aku berkata : Permisalan Umar ini terdapat di dalam Al Mu’jam Al Ausath,
karya Thabrani dan di dalamnya ada orang yang bernama Al Hasan bin
Jabalah. Al Haitsami berkata di dalam Al Majma’ 13/191,”Aku belum pernah
menemukan orang yang menyebutkannya, dan rijal hadits yang lainnya
tsiqah.”
Menurut Ibnu Wadhah dalam Al Bida’ hlm. 44 dan Al Faqihi dalam Kitabu
Makkah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Ba’its
‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits, hlm. 49. Beliau berkata juga : “Abu
Utsman Sa’id bin Mansur menyandarkannya kepada imam yang disepakati
keadilannya dan disepakati mengeluarkan dan meriwayatkannya,” dan beliau
berkata : “Ini adalah sanad yang para perawinya disepakati
keadilannya”.
Ath Thurtusi dalam Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 129 dan Abu Syamah dalam
Al Ba’its, hlm. 49 menukil kebencian Abu Bakar pada puasa Rajab.
Sebagai pelengkap, kami sampaikan ucapan Imam Abdullah Al Anshari,
menukil dari Asy Suyuthi rahimahullah Ta’ala : “Jika dikatakan puasa
Rajab adalah amalan yang baik, maka katakan padanya, mengamalkan
kebaikan hendaknya sesuai yang disyari’atkan Rasulullah. Bila kita tahu,
bahwa itu dusta atas nama Rasulullah, maka itu keluar dari yang
disyari’atkan, dan mengagungkannya termasuk perkara jahiliyah,
sebagaimana kata Umar. Umar pernah memukul rajabiyyin, yaitu orang-orang
yang berpuasa Rajab. Adapun Ibnu Abbas, seorang ulama Al Qur’an
membencinya juga. Dan dikeluarkan oleh Abdurrazaq di dalam Mushannaf
4/292, dari Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa dia membenci seluruh puasa
Rajab, agar tidak dijadikan hari raya. Isnadnya shahih, sebagaimana
dikatakan Ibnu Hajar dalam Tabyin Al Ajab, hlm. 65, 66 – Al Misriyyah.
As Suyuti berkata juga : Biasanya bila Ibnu Umar melihat manusia dan apa
yang mereka siapkan untuk bulan Rajab, (maka) beliau membencinya.
Beliau berkata,”Berpuasalah pada bulan Rajab dan berbukalah, karena dia
adalah bulan yang dahulu dimuliakan kaum jahiliyyah”.
At Turthusi dalam Al Hawadits Wal Bid’ah, hlm. 129 dan Abu Syamah di
dalam Al Ba’its, hlm. 49 menyebutkan atsar Ibnu Umar ini. Dan di hlm.
130-131 berkata,”Puasa Rajab dibenci berdasarkan salah satu dari tiga
segi. Salah satunya adalah bila orang-orang mengkhususkannya dengan
puasa pada setiap tahun, maka orang-orang awam yang tidak tahu akan
menyangka (bahwa) itu wajib seperti puasa Ramadhan, atau mungkin sunnah
yang tetap yang dikhususkan Rasulullah untuk berpuasa, seperti
sunnah-sunnah rawatib. Dan bisa jadi, puasa itu ditentukan karena
keutamaan pahalanya dibanding seluruh bulan, sebagaimana puasa ‘Asy
Syura, maka puasa itu dianggap ada karena ada keutamaannya, bukan hanya
karena sisi sunnah atau wajibnya.
Andaikata hal ini terjadi karena ada keutamaannya, tentu Rasulullah
telah menjelaskan atau Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
melakukannya, meskipun sekali seumur hidupnya, sebagaimana Beliau pernah
melakukan puasa ‘Asy Syura. Dan (dalam masalah ini) Beliau tidak pernah
melakukanya, sehingga batallah anggapan keberadaan puasa itu,
dikarenakan tidak ada keutamaannya. Secara ittifaq, itu bukan fardhu dan
bukan pula wajib. Dan secara khusus, tidak ada dalil yang menetapkan
anjuran puasa Rajab. Dengan demikian, berpuasa Rajab berarti melakukan
secara terus-menerus suatu perkara yang dibenci.
Meskipun begitu, orang-orang yang berpuasa Rajab masih memiliki dalih,
bahwa mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan amal diperbolehkan,
karena para ulama ahli hadits dan ahli ilmu bersikap toleran dalam
mendatangkan hadits-hadits dha’if yang berkaitan dengan keutamaan amal.
Pernyataan tersebut terbantahkan dengan dalil sebagai berikut:
“Sesunguhnya ulama Ahli Hadits toleran dalam mengamalkan hadits-hadits
dha’if, dalam keutamaan amal dengan beberapa syarat[9]. Diantaranya,
yang paling penting adalah hendaknya harus dijelaskan sisi kelemahannya,
dan hadits tersebut tidak maudhu’, supaya orang yang mengamalkannya
tidak membuat syari’at baru, seperti hadits puasa Rajab, sebagaimana
dikatakan Ibnu Qayyim, Fairuz Abadi, Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani,
Al Hafizh Abdullah Al Anshari, Ibnu Hammat Ad Dimasqi dan Ibnu Rajab di
dalam Lathaiful Ma’arif, hlm. 123-127, dan Abu Hafs Al Mushuli di dalam
Al Mughni ‘Anil Hifzhi Wal Kitab, hlm. 371 dan disetujui oleh Abu Ishaq
Al Huwaini dalam kritikannya, yaitu Junnatul Murtab, dan selain mereka.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Lirik Lagu Despacito Luis Fonsi
-
Ay
Fonsi
DY
Oh
Oh no, oh no
Oh yeah
Diridiri, dirididi Daddy
Go
Sí, sabes que ya llevo un rato mirándote
Tengo que bailar contigo hoy (DY)
Vi que tu mira...
6 years ago
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan komenter disini gan mumpung masih gratis... wekekekke :D